DUA puluh Desember adalah waktu yang disepakati sebagai hari wafat Pahlawan Nasional Oto Iskandar di Nata (Otista). Namun, bagi orang Sunda, peristiwa itu tetap menyisakan tanya.
Misteri itu berawal pada 10 Desember 1945, ketika mantan Menteri Negara itu diculik Lasykar Hitam atas tuduhan sebagai mata-mata NICA. Sepuluh hari berselang, Otista dibunuh di Pantai Mauk Tangerang. Kasusnya mulai diselidiki pada 1951. Enam tahun kemudian, kasus itu disidangkan dan berakhir pada 1959. Moch. Mujitaba bin Murkam, salah seorang yang terlibat penculikan dan pembunuhan, kemudian dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Mengusut kasus Otista memang sulit dan sangat kompleks. Selain keterbatasan kemampuan aparat saat itu, penyelidikan yang baru dimulai lima tahun setelah kejadian, tentu saja mengganggu bahkan menghilangkan bekas dan bukti kasus.
Adalah Moch. Enduh, polisi yang sudah melakukan penyelidikan sejak 1951. Berkat kegigihan Komisaris Polisi II itu lah, Mujitaba berhasil ditangkap pada 1956. Pengadilan kasus Otista pun berlangsung alot. Setelah 12 orang saksi berhasil dihadirkan di muka sidang, Mujitaba terus membantah telah membunuh Otista. Namun, ia tak bisa menolak keterlibatannya dalam peristiwa itu.
Pengadilan dipimpin Hakim Raffli Rasad dan jaksa R. Sutisna, Sirin St. Pangeran, dan Priyatna Abdulrasyid, yang bertugas secara bergantian. Sementara itu, pembelanya ialah Harjono Tjokrosubeno. Kepada Jaksa Priyatna, Mujitaba sempat “bernyanyi” soal keterlibatan sejumlah orang yang saat itu telah menjadi tokoh nasional. Sayang, upaya Priyatna untuk melakukan pengusutan lebih lanjut ditolak pengadilan.
**
Upaya mencari kaitan kematian Otista dengan Lasykar Hitam ternyata tidak membuahkan hasil memuaskan. Lasykar Hitam hanyalah pelaku lapangan. Organ itu bergerak di bawah Direktorium pimpinan K.H. Achmad Chairun, yang saat itu (1945-1946), mengambil alih pemerintahan Tangerang. Kepentingan rezim Chairun ini juga lemah sebab mereka memisahkan diri dari RI. Untuk apa mereka menculik “pengkhianat” RI kalau mereka sendiri tidak mengakui RI.
Rezim Chairun lebih tepat dikatakan telah “diorder” untuk menculik Otista. Lalu ditugaskanlah Lasykar Hitam yang menjadi inti dari Pasukan Berani Mati pimpinan Syekh Abdullah. Belum ditemukan informasi yang kuat, siapa mastermind yang “mengorder” penculikan dan pembunuhan itu.
Asumsi pada skenario ini adalah sedikitnya pengetahuan para pelaku terhadap sosok Otista. Di pengadilan, hampir semua saksi mengaku tidak mengenal Otista sebelumnya, kecuali Djumadi yang anggota BKR. Mereka hanya dibekali informasi bahwa Otista adalah “Mata-mata musuh yang menjual kota Bandung satu miliun!” Tidak jelas apakah dalam bentuk gulden atau rupiah. Adanya tuduhan ini faktual karena diakui dalam proses pengadilan. Lalu, dari mana angka satu miliun itu?
Ketika tentara Jepang panik karena pasukan Sekutu sudah tiba di Indonesia, sebagian dari mereka kebingungan dengan sejumlah dana yang terkumpul pada masa pendudukan. Di antara dana itu ada yang diserahkan kepada sejumlah tokoh sebagai bekal perjuangan. Menurut sumber yang masih harus diverifikasi, Otista adalah salah seorang yang menerima dana titipan itu. Seorang Jepang yang kemudian membantu perjuangan gerilya RI, mengakui pernah menyerahkan sejumlah uang kepada Otista. Demikianlah kira-kira sebab musabab adanya tuduhan Otista punya uang 1 juta itu.
**
Dengan hilangnya Otista, Bandung dan Jawa Barat kehilangan salah seorang pemimpinnya yang paling penting. Kepemimpinan di Bandung pun jadi cerai-berai. Jawa Barat dipimpin orang non-Sunda, sementara tokoh Sunda malah jadi pemimpin di daerah lain. Kekuatan kaum nasionalis di Bandung seolah kehilangan arah dan tumpuan. Mereka terjebak dalam situasi saling curiga. Oleh karena itulah Sekutu “lebih mudah” menaklukkan Bandung.
Apakah Lasykar Hitam dan Direktorium rezim Achmad Chairun diuntungkan dengan perbuatannya? Tidak. Yang mereka lakukan terbukti sia-sia belaka dan tidak menambah apa pun untuk perjuangan Republik selain penyesalan. Mereka malah mengotori perjuangan Republik karena memisahkan diri. Dalam konteks perjuangan yang lebih luas mereka juga bagian dari korban. Korban provokasi tokoh yang berkhianat atau korban intelijen musuh.
Apakah –kalau benar ada– kawan Otista yang berkhianat itu yang beruntung? Tidak juga. Sejarah kemudian mencatat bahwa Otista tidak bersalah dan namanya sudah dipulihkan dengan pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional. Sebaliknya sang kawan itu mungkin sampai akhir hayatnya memendam rasa takut dan sesal. Perbuatannya terbukti hanya merusak kesatuan perjuangan Republik.
Lalu siapa yang rugi? Yang rugi adalah para pemimpin republik karena hubungan mereka dengan rakyat diputus oleh pagar betis pemuda dan amuk massa di setiap sudut kota. Kendali mereka menjadi sangat lemah. Begitu pula yang paling rugi dari hilangnya Otista adalah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik.
Hal itu diakui secara jujur oleh Presiden Sukarno (kantor berita Antara, 29/09/1950) bahwa Otista memang salah seorang putra Indonesia yang banyak sekali jasanya kepada tanah air dan bangsa. “Kalau umpamanya Tuan Oto sekarang ini masih hidup, sudah tentu beliau akan memberi lagi jasa-jasanya yang besar kepada negara kita ini dan banyak kesulitan yang kita hadapi sekarang ini lebih mudah diatasi.”
Kerugian juga dirasakan oleh warga Jawa Barat, masyarakat yang sejak awal 1930-an sudah dipersiapkan Otista untuk menyongsong kemerdekaan. Melalui Paguyuban Pasundan yang dipimpinnya sejak 1931, Otista terus-menerus menggelorakan semangat kemerdekaan melalui persatuan, kedisiplinan, dan kesungguhan bekerja. Kerugian orang Sunda atas hilangnya Otista itu tidak hanya dari aspek politik, tetapi juga dari aspek sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya.
Dari aspek sosial-pendidikan-ekonomi adalah kesulitan dalam menghidupkan kembali Paguyuban Pasundan. Sebagaimana diketahui, Paguyuban Pasundan ketika dibubarkan pada 1942 sedang dalam puncak keemasannya. Organisasi massa ini bergerak di banyak bidang sosial, pendidikan, dan ekonomi. Ada rumah sakit dan sekolah. Ada koperasi dan perbankan. Ada penerbitan dan percetakan. Ada organisasi perempuan dan pemuda dan banyak hal lain lagi. Dalam aspek kebudayaan, kerugian orang Sunda adalah hilangnya keseimbangan kepemimpinan.
**
Apakah kita sudah cukup menghormati jasa Otista? Tokoh Sunda ini sudah jadi Pahlawan Nasional. Ia juga sudah jadi nama jalan-jalan protokol di berbagai kota besar dan kecil. Dari sisi formal mungkin sudah memadai. Akan tetapi dari sisi kepentingan yang lebih luas, untuk tumbuh kembangnya budaya Sunda ke depan, rasanya kita masih perlu untuk lebih memberi lagi penghormatan. Umpamanya, membuatkan sebuah museum yang didekasikan untuk mengenang jasa dan perjuangannya (Lihat Museum Oto Iskandar di Nata: Sebuah Mimpi).
Oto Iskandar di Nata hidup hampir tanpa cela dan mati sebagai syahid. Mengenang Otista adalah seperti mengisi kembali bahan bakar yang hampir habis. Totalitasnya pada perjuangan benar-benar berakhir pada titik darahnya yang penghabisan. Sebagaimana pernah diamanatkan Otista, “Perbuatan yang harus dan mesti kita kerjakan sudah tentu adalah berjuang untuk menang”. Itulah panduan generasi Sunda sekarang, berjuang dan menang.
Kongres Pemuda Sunda (5-7 November 1956), memproklamasikan Oto Iskandar di Nata sebagai Bapak Sunda. “Yen Dewi Sartika jeung Oto Iskandar di Nata kudu dipieling ku urang Sunda saban taun minangka Ibu jeung Bapa Sunda” (Bahwa Dewi Sartika dan Oto Iskandar di Nata harus diperingati oleh orang Sunda setiap tahun sebagai Bapak dan Ibu Sunda). Proklamasi itu benar adanya. Memang, sudah selayaknya kalau Otista dijadikan sebagai Bapak Sunda. (Iip D. Yahya, dari berbagai sumber) ***
Senin, 24 Desember 2007
sumber:http://klipingut.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar