Rabu, 28 April 2010
Ensiklopedi Pemikiran Emha Ainun Nadjib
1. kenapa kita tak bersedia merasa sebagai anak yang sedang belajar, sehingga ketidakmampuan itu wajar dan tak perlu ditutup-tutupi. Kenapa kita cenderung menciptakan diri menjadi nabi-nabi kecil yang bersabda dengan gagah perkasa
2. Tak seorang pun mampu mengada tanpa karena
3. Yang kita kehendaki dari anak-anak kita terutama adalah kepatuhan dan ketertiban dalam ukuran-ukuran kita sendiri. Kita kurang memiliki tradisi empati untuk membayangkan dan sampai batas tertentu membiarkan anak-anak kita menjadi diri mereka sendiri.
4. Sastra sekuler tidak otomatis steril dari Tuhan dan ketuhanan, seperti halnya atheism hanyalah tahap atau batas pengetahuan ketuhanan tertentu, atau kita tidak bias menyatakan, kita hidup di bumi dan Tuhan nun di sana. Semua terletak dalam ruang lingkup Tuhan. Oleh karena itu tidak usah kaget apabila menjumpai sebuah karya sastra sekuler tiba-tiba terasa sedemikian mendalam kadar Religiusitasnya.
5. Kesadaran wahid adalah proses perjalanan menuju Tuhan atau menempuh metode di dunia ini untuk tiba kembali pada-Nya. Manusia menempuh karier, meraih status, nama baik, dan hiasan harta benda, yang seluruhnya itu diorientasikan kepada penemuan Tuhan. Karier, nama baik, harta benda adalah tarikat menuju Tuhan, dan bukan Tuhan itu sendiri
6. Manusia mesti memutuskan sesuatu untuk menemukan dirinya kembali, memilih tempatnya berpijak, menentukan kedudukannya. Di tengah ilmu yang makin menumbuhkan ruh. Di tengah pengebirian agama, pendangkalan kebudayaan, ironi kenyataan yang palipurna, penindasan yang disamarkan, penjajahan dengan senyuman. Ini zaman darurat, apa yang bias kau perbuat? Mengubah masyarakat? Itu impian sekarat.
7. Kehidupan berhenti ketika seseorang memilih aman daripada gelisah dan resiko.
8. Proses apapun, apalagi perlawanan dan pembebasan, mestilah ditempuh dengan kerja keras terus-menerus, penguasaan atas segala yang diperlukan oleh proses itu, serta persediaan waktu yang tidak pendek.
9. Puisi bukan apa-apa. Ia hanya bikinan manusia. Sedang manusia bukan apa-apa, kecuali ia yang bekerja agar ia lebih dari sekedar bukan apa-apa. Apapun saja bukan apa-apa kecuali Tuhan.
10. Saudaraku, dimana saja aku adalah aku, sebagaimana di hutan pun engkau adalah engkau.
11. Di tengah seribu hal yang menympekkan, tak kurang jua yang meringankan.
12. Yang terkenal belum tentu bermutu, yang bermutu belum tentu dikenal.
13. Kita terseret untuk membenci orang kaya, atau mencintai kemiskinan, saking getolnya membela orang miskin. Jadi sama halnya dengan setiap orang memeras orang miskin, karena sangat getol dengan kekayaan. Artinya, apakah untuk menjadi kaya harus melalui memiskinkan orang dahulu?
14. Kambing jangan seenaknya menyimpulkan bahwa harkatnya lebih tinggi daripada ayam, karena makanannya rumput dan dedaunan sementara ayam makan debu dan ulat-ulat kotor. Sebab kebudayaan ayam memiliki perspektif nilai-nilainya sendiri, memiliki acuan estetika dan hokum kesehatannya sendiri, yang tidak bias dibandingkan dengan kerangka acuan kambing.
15. Persetubuhan itu baik, tapi jika dilakukan tidak pada tempat dan waktunya, ia menjadi pemerkosaan. Korupsi itu toh hanya mengambil, Cuma yang diambil bukan haknya.
16. Keburukan itu tidak ada. Keburukan adalah kebaikan yang tidak diletakan pada ruang dan waktu yang semestinya. Sama halnya dengan kebencian, sesungguhnya ia adalah gelar dari cinta yang disakiti.
17. Zaman ini adalah zaman yang paling merasa tahu segala sesuatu, tetapi dimana-mana terjadi kedunguan dan ketidaktahuan terhadap hakikat kehidupan disbanding peradaban-peradaban masa silam. Alangkah sakit jiwanya.
18. Zaman sekarang adalah zaman yang mengaku paling sehat dan memuncaki ilmu dan tekhnologi kesehatan, tetapi berderet-deret penyakit baru muncul. Alangkah sakit jiwanya.
19. Zaman sekarang adalah zaman dimana nilai-nilai, substansi, makna kata, hakikat realitas, dijungkirbalikan secara sengaja seperti menaruh bola mata dibalik ketiak. Alangkah sakit jiwanya.
20.Orang yang kehilangan, setidaknya akan ingat bahwa ia kehilangan. Tapi kalau terlalu lama ia merasa kehilangan sesuatu, akhirnya yang hilang bukan hanya sesuatu itu, tetapi juga rasa kehilangan itu sendiri.
21. Yang ada tinggi rendah itu hanya nilai. Kalau manusia ya sama saja.
22. Manusia apapun posisinya harus belajar bergaul dalam kesejajaran harkat, dalam keadilan dan keseimbangan nilai diantara mereka.
23. Baik orang penindas maupun orang yang tertindas layak kita cintai. Hanya saja, cara kita mencintai harus berbeda. Kaum tertindas kita cintai dengan santunan dan sumbangan perubahan, sedang kaum penindas kita cintai dengan cara menegur atau mendongkelnya.
24. Tidak ada barang yang hilang, paling-paling pindah tempat.
25. Kenapa pengetahuan kalian tidak membuat kalian mengerti?
26. Khilaflah pandangan yang mengatakan bahwa manusia berhak dan mampu menyutradarai dirinya sendiri secara total. Namun lebih khilaf lagi jika dikatakan bahwa manusia, rakyat, lahir ke dunia hanya sekedar untuk menjalani penyutradaraan.
27. Kita dilarang membiarkan kebodohan. Apalagi kebodohan yang sombong.
28. Betapa tersiksanya untuk tidak percaya kepada sesama manusia.
29. Biarlah ia menipu, biarlah ia puas bahwa saya seakan-akan percaya pada tangisnya. Kalau tidak salah, Tuhan sendiri tahu persis bahwa sangat banyak hamba-hamba-Nya menipu-Nya setiap hari. Mengingkari janji untuk patuh kepada-Nya. Tapi apakah dengan itu lantas Tuhan menghentikan terbitnya matahari gara-gara dia jengkel ditipu manusia?
30. Jangan sampai kita mengeksploitasi persahabatan atau kemanusiaan untuk hal-hal yang bersifat professional.
sumber:http://menjawabdenganhati.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar