POSTED BY AA KUMIS BDG ON SUNDAY, 8 NOVEMBER 2009 / LABELS: KERAJAAN NUSANTARA /
BERDIRINYA KABUPATEN BANDUNG
Sumber : http://www.mail-archive.com/urangsunda@yahoogroups.com/msg39531.html
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan
sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum
Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah daerah Kerajaan
Timbanganten' dengan ibukota di Tegalluar.2 Kerajaan itu berada
di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan
abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun-temurun
oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa
pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang
cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri
atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat
gerakan pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di
daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan
Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan
Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu
Geusan Ulun (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat
yang terletak di sebelah barat kota Sumedang sekarang. Wilayah
kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut
Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Aria
Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya,
Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun
1620.5 Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan
menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram
menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian barat
terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten clan atau Kompeni
yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni
dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden
Aria Suriadiwangsa rnenjadi "Bupati Wedana" (bupati kepala) di
Priangan (1620 - 1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol
Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol 1.6
Tahun 1624 Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk
menaklukkan daerah Sampang (Madura). Oleh karena itu, jabatan
"Bupati Wedana" Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol 1,
yaitu Pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran
Dipati Rangga Gede menjabat sebagai bupati wedana, Sumedang
diserang oleh pasukan Banten. Oleh karena sebagian pasukan
Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tdak
dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, is menerima sanksi
politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di
Mataram. Jabatan "Bupati Wedana" Priangan diserahkan kepada
Dipati Ukur, dengan syarat is hares dapat merebut Batavia dari
kekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati
Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di
Batavia.7 Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati
Ukur menyadari bahwa sebagai konsekuensi dari kegagalan itu is
akan mendapat hukuman berat dari raja Mataram, misalnya hukuman
seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau
hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu-Dipati Ukur
beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah
penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke
Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu
dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap
penguasa kerajaan Mataram. Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur
beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak
Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung,
akibat jauhnya jarak antara pusat Kerajaan Mataram dengan daerah
Priangan. Secara teoretis, bila daerah sangat jauh dari pusat
kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Namun
demikian, berkat bantuan beberapa kepala daerah di Priangan,
pihak Mataram akhimya dapat memadamkan "pemberontakan" Dipati
Ukur.8 Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap
di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632' Setelah
"pemberontakan Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung
menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada
Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya.
Selanjutnya Sultan Agung mengadakan reorganisasi pernerintahan di
Priangan, dengan tujuan untuk menstabilisasikan situasi dan
kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan
Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung,
Kabupaten Parakanmuncang, dan Kabupaten Sukapura dengan cara
mengangkat tiga orang kepala daerah dari Priangan yang dianggap
telah berjasa menumpas "pemberontakan" Dipati Ukur Ketiga orang
kepala dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti,
diangkat menjadi "mantri agung" (bupati) Bandung dengan gelar
Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang
dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar
Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan
berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari
Sabtu tanggal 9 Muhararn Tahun Alip11 (penanggalan Jawa). Dengan
demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari
jadi Kabupaten Bandung, tetapi sekaligus sebagai hari jadi
Kabupaten Sukapura dan Kabupaten " Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi
perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula
merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan
Sunda-Pajajaran kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak
jelas, berubah menjadi daerah dengan status administratif yang
jelas, yaitu kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan
Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung
(naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumenggung
Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar
Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati
Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung
Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat
yang terletak di tepi Sungai Citarum dekat muara Sungai
Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian selatan)
sebagai ibukota kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten
Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut "Bumi
Ukur Gede" .
Wilayah administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram
(hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena
sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum
ditemukan. Menurut sumber pribumi, pada tahap awal Kabupaten
Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk
daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan
sebagianTanahmedang. Boleh jadi, daerah Priangan di luar wilayah
Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura, dan Galuh, yang
semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa
pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administratif
Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka
Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup
daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran,
Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan
lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang, dan
Tanahmedang.
Oleh karena Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten
bentukan pemerintah kerajaan (Mataram), dan berada di bawah
pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan
Kabupaten Bandung pun mewarisi sistem pemerintahan Mataram.
Bupati memiliki berbagai jenis simbol kebesaran, pengawal khusus,
dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut kebesaran itu
menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh bupati atas
rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan
oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dimiliki oleh raja.
Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut
pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja
(ngawula), hak berburu dan menangkap ikan, dan hak mengaditi.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa
Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu bupati Bandung
khususnya dan bupati di Priangan umumnya berkuasa seperti raja.ls
la berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan
dan gaga hidup bupati merupakan "miniatur" dari kehidupan
keraton.16 Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh
pejabatpejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang
atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala
distrik), patinggi (lurah atau kepala desa), dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada di bawah pengaruh Mataram hingga akhir
tahun 1677. Selanjutnya Kabupaten Bandung jatuh ke bawah
kekuasaan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian
MataramKompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677.17
Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), bupati Bandung dan bupati
lainnya di Priangan, tetap berkedudukan sebagai penguasa
tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasamya hampir tidak mengalami
perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui
kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi
tertentu kepada VOC, dan bupati tidak boleh mengadakan hubungan
politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah
adalah jabatan "bupati wedana" dihilangkan. Sebagai gantinya,
Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai "pengawas"
(opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlanden).
Salah satu kewajiban utama bupati terhadap Kompeni adalah
melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan
menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut
Preangerstelsel. Sementara itu, bupati wajib memelihara keamanan
dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh
mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan
"Bupati Kompeni" atau penguasa Kompeni di Cirebon .Agar bupati
dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik,
pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari
bidang itu, seperti bagian zakat fltrah, tidak diganggu baik
bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan
kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni .
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC (akhir tahun 1779),
Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten
Bandung diperintah secara turun-temurun oleh enam orang bupati.
Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama (angkatan
Mataram) yang memerintah hingga tahun 1681. Lima bupati lainnya
adalah bupati angkatan Kompeni, yaitu Tumenggung Ardikusumah
(1681-1704), Tumenggung Anggadiredja 1 (1704-1747), Tumenggung
Anggadiredja II (1747-1763), R. Anggadiredja III dengan gelar
R.A. Wiranatakusumah 1(1763-1794), dan R.A. Wiranatakusumah II
(1794-1829).22 Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah
II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak ke Kota
Bandung.
sumber:http://tahoegoreng.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
mantafff gan ..!! trus gali sejarah kita ^^
BalasHapusnuhun kang atos kersa di share kaleresan abdi teh nuju milarian nuhun ah ka anu gaduh ieu blog
BalasHapus