Kamis, 05 November 2009

Urang "Baduy" Kanekes

Urang "BADUY" Kanekes, yang bermukim di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan, sebagai masyarakat tradisi murni, yang masih kuat menampakan cirri-ciri budaya Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budha. Diantaranya, penghormatan kepada Roh Karuhun (leluhur) serta tercemin pula dalam sementara bentuk sastra lisannya yang mengandung nilai falsafah Sunda buhun, seperti pada mantera. Sampai kini pada era globalissasi komunikasi, pada penghujung Abad XX, masih kuat dan mantap berdiri dengan jatidirinya. Jatidiri, kepribadian, Sunda antara lain: menghormati karuhun, menjaga dan melestarikan lingkungan serta hidup dalam bergotong royong, serta bermusyawarah untuk mufakat.

SASTERA LISAN BADUY

Urang "BADUY" Kanekes, yang bermukim di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan, sebagai masyarakat tradisi murni, yang masih kuat menampakan cirri-ciri budaya Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budha. Diantaranya, penghormatan kepada Roh Karuhun (leluhur) serta tercemin pula dalam sementara bentuk sastra lisannya yang mengandung nilai falsafah Sunda buhun, seperti pada mantera. Sampai kini pada era globalissasi komunikasi, pada penghujung Abad XX, masih kuat dan mantap berdiri dengan jatidirinya. Jatidiri, kepribadian, Sunda antara lain: menghormati karuhun, menjaga dan melestarikan lingkungan serta hidup dalam bergotong royong, serta bermusyawarah untuk mufakat.



Urang Baduy, baik secara etnis, geografis, sejarah, bahasa, juga dalam pengakuan mereka sendiri Urang Baduy adalah Urang Sunda. Untuk membedakan dengan Orang Sunda lainnya yang bertempat tinggal dan berasal di luar daerah Kanekes, mereka menamakan dirinya Sunda Wiwitan.



Adapun istilah Sunda Wiwitan bagi orang Baduy Kanekes, pengertiannya tidak hanya terbatas pada etnik atau sub etnik, tapi juga meliputi geografis, sejarah, bahasa, budaya termasuk adat dan kepercayaan.



Ada satu penuturan orang Baduy yang berbunyi: "Geunna kami ieu tah, ti nu Karolot geh, Urang Sunda bae, Sunda Wiwitan. Apanan kami ieu tah, cicing di tanah Sunda, nu Karolot urang Sunda, omong Sunda, agama Sunda". Arti bebasnya kira-kira: "Kami ini, sejak Leluhur Orang Sunda, Sunda Wiwitan. Sebab kami diam di tanah Sunda , Leluhur orang Sunda, bahasa kami Sunda, agama Sunda". Demikian dikatakan Aki Puun Janol (102 tahun) pada bulan November tahun 1978 di saung Humanya yang berada di Kawasan Baduy Jero Cibeo kepada penulis.



Yang dimaksud Puun, ialah pimpinan tertinggi adat serta pemerintahan adat dan agama. Puun juga merupakan pimpinan tertingggi lembaga ilmu pengetahuan, seperti lembaga untuk meneliti peredaran bintang dalam menentukan penanggalan (kalender) Baduy, hal ini juga bisa dipakai untuk menentukan masa mulai menggarap ladang serta menuai padi. Meneliti garis sastera Bambu untuk menentukan hari kelahiran, perkawinan dan lainnya.

Disamping sastera Bambu, orang Baduy di Kanekes, sejak para karuhun memiliki memiliki Sastera Lisan.



Adapun bahasa yang dipergunakan sebagai media utama dalam sastera Lisan Baduy, adalah Bahasa Sunda dialek Baduy yang telah meninggalkan Kanekes beserta segala pranata masyarakatnya. Dalam hal ini seperti adat kepercayaan, kebiasaan, yang bertumpu pada akar keklasikan serta banyaknya kata-kata dan untaian kalimat Sunda Kuno.



Dikalangan masyarakat Baduy Kanekes, unsur Sunda Kuno itu lebih banyak dibanding yang terdapat dikalangan masyarakat Sunda luar Kanekes. Hal itu dikarenakan sangat gugon tuhonnya mereka memelihara peninggalan karuhun termasuk didalamnya bahasa. Hal itu ditopang pula oleh sangat jarangnya persentuhan mereka dengan budaya luar. Terutama di Tangtu Telu, Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.



Karenanya, merekapun sangat tidak mengenal undak usuk basa. Bagi orang Tangtu undak usuk basa sangat asing. Contoh, untuk orang pertama dengan siapapun mereka berbicara mempergunakan sebutan aing, untuk orang kedua dipergunakan sebuatan sia. Orang Baduy Kanekes, sangat demokratis dalam berbahasa.



Berikut beberapa contoh sastera lisan yang dikenal di kalangan Masyarakat Baduy:



Mantera



Bentuk-bentuk mantera sastera lisan yang terdapat di Baduy Kanekes, diantaranya Mantera, Pantun, Pikukuh, Pitutur, Susuwalan, Riwayat, Cerita Rakyat dan Legenda. Adapun bentuk yang tertua dilihat dari segi bahasa, kandungan isi dan falsafah, serta nafas, ialah Mantera. Aki Puun Djainte dari Baduy Jero Cikeusik, menuturkan bahwa mantera, jauh lebih tua dari pantun serta Sastera Bambu.



Mantera terdiri dari beberapa tingkat. Tua, pertengahan dan muda. Mantera ini juga ditentukan peruntukannya, seperti halnya untuk apa mantera diucapkan, tahun berapa keberadaan dari mantera tersebut, serta bahasa yang dipergunakannya. Namun betapapun mudanya usia sesuatu Mantera, fungsinya dalam kehidupan ritual masyarakat Baduy, menempati urutan yang teratas.



Hal ini sejajar dengan kedudukan serta wibawa pikukuh. "Bisina kagetrak kagetruj, mangkana kudu nyanybla ku omong" (untuk menjaga ada yang tergores, kita harus pamit terlebih dahulu). Ujar Jaro Inas tahun 1980, Dukun Pantun dari Baduy Jero Cikeusik, tentang mantera.



Berikut salah satu contoh mantera maysrakat Baduy :



Sapun

Awaking reuk make pasang panjang pasadun

Pok sablapun

Meunag Ahung tujuh kali

Ahung deui

Ahung deui

Ahung malungga

Ahung malingga

Ahung mangdegdeg

Ahung mangandeg

Ahung manglindu asih

Ka Ambu aing Sira mangambung

Ka Bapa aing Sira mangumbang

Pangjungjungkeun

Panglawungkeun

Ku Ambu aing sira manglaung

Ku Bapa aing sira mangumpang

Pangnyambungkeun aing saur

Pangngapakeun aing saba

Ka luhur ka mega beureum

Ka mega hideung

Ka mega si karambangan

Ka mega si kareumbingan

Ka mega si karenten

Ka mega si kalambatan

Ka mega si kaleumbitan

Ka mega ssi antrawela

Ka kocapna

Ka ucapna

Ka Puncakning ibun

Ka guru putra hiyang bayu

Ka nu weang nyukcruk ibun

Ahung.......



(dari pantun: Langgasari Ngora)





Tingkatan mantera yang dikutip dari mantera yang dipakai dalam Pasundan Pantun Baduy tersebut, termasuk Mantera tingkat pertengahan.



Berikut adalah kutipan dari Mantera yang lebih muda, diambil beberapa bait dari Mantera pada upacara Ngareremokeun (mengawinkan) Nyai Pohaci dengan Bumi. Suatu upacara yang dinamakan pula Ngaseuk.



Dalam tradisi Adat sunda Wiwitan, masa Ngaseuk adalah masa Ngareremokeun padi yang diberi nama sangat indah, agung dan puitis; Nu Geulis Nyai Pohaci Sri Dangdayang Tresnawati, dengan Tanah atau Bumi yang bergelar sangat perkasa:



Weweg sampeg, Mandala pageuh

Mangka tetep mangka langgeng

Mangka langgeng tunggal tineung

Datang hiji datang dua

Datang tilu nungku nungku

Datang opat ngawun ngawun

Datang lima lingga emas

Datang genep nguren nguren

Datang tujuh lilimbungan

Puluhan tanpa wilangan





Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:



Semoga menetap semoga bahagia

Semoga sentausa menyatu kasih

Datang satu datang dua

Datang tiga berangkulan

Datang empat berpasanagan

Datang lima lingga cerlang

Datang enam berpasangan

Datang tujuh menyatu kasih

Berpuluh tidak terhitung





Sedang dalam Mantera mengundang kehadiran Nyai Pohaci Dangdayang Tresnawati pada acara Tari Baksa untuk memeriahkan Ngeslamkeun anak anak Baduy Kanekes, antara lain berbunyi:



Calik calik nu geulis

Nyai Sri calik di dieu

Unggah ka pasaran lega

Geusan sia gagayahan

Geusan sia gagayahan

Di gedong manik mandala pageuh

Lemut teuing ku buruanana

Lesang teuing ku bojana

Nu geulis ranggeuy mirikiniknik

Bar ngampar ku samak metruk

Gasan bujang kasangna bagus

Gasan Nyai tes netepan

Ngajepret palisir bodas





Terjemahan bebasnya oleh DH. NEH:



Silakan singgah nan cantik jelita

Nyai Sri dudukdisini

Naik ke halaman luas

Kalulah jelita pembawa kesuburan

Kaulah jelita pembawa kemakmuran

Duduklah di singgasana manik mandala perkasa

Indahnya halaman yang terhampar

Molek istana yang tersedia

Betapa pemurahnya wahai dikau jelita

Nan cantik molek pembawa kemakmuran

Duduklah beralas tikar kedamaian

Di tempat istirahat indah alamnya

Tempat Nyai menyantaikan diri

Berbaring tenang dengan tentram.





Adapun Mantera dalam jenis tinggi berusia tua, hanya di sablakan pada upacara sakral seperti pada jarah ke Sasaka Domas atau Sasaka Mandala, satu tahun sekali. Pengsablaannya (pembacaan mantera) Hanya dilakukan oleh Girang Puun dari Tangtu Padaageung (Baduy Jero Cikeusik). Sedangkan pengsablaan mantera tua pada upacara sakral Ngalaksa dan Ngawalu tersebut, hanya dapat dilaksanakan Baris Kolot (tertua) tertentu dari Baduy Jero (Tangtu) atau Baduy Luar (Panamping).



Karenanya, wajarlah jika Sastera Lisan Baduy berbentuk Mantera tersebut, hanya dikuasai oleh beberapa Baris Kolot saja. Sehingga dikawatirkan keadaan atau kelestariannya akan cenderung menghadapi kepunahan. Paling tidak ada generasi penerusnya.



Bahasa yang dipergunakan Mantera yang biasa dipakai para Girang Puun, waktu Jarah atau Muja ke Sasaka Pusaka Mandala atau Sasaka Domas, ialah bahasa Sunda Kuno.



Pikukuh, adalh Hukum Adat Baduy Kanekes, yang menyumber pada keyakinan Sunda Wiwitan. Diturunkan dengan lisan turun temurun sejak kurun tahun tidak terhitung. Terjalin dalam untaian kata dan kalimat, berbentuk puisi serta prosa lirik. Seperti: Lonjor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak dapat dipotong, pendek tak dapat disambung).



Pun Sapun ka Luluhuran sakabeh Aing Menta panjang nya pangampurna!


Sumber:kasundaan.org
Penulis adalah: Girang Puhu Bale Budaya Baduy Yayasan "Paku Tangtu Telu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar